Demonstrasi dan Penjarahan: Menguji Demokrasi, Merobek Kemanusiaan

BANDUNGASIA.com : Di atas kertas, demonstrasi adalah tanda sehatnya demokrasi. Ia adalah ruang di mana rakyat dapat menyampaikan aspirasi, menagih janji, atau menolak kebijakan yang dianggap tidak adil. Konstitusi melindungi hak ini sebagai wujud partisipasi publik. Demonstrasi, pada hakikatnya, adalah bahasa rakyat ketika kanal formal tidak lagi memadai. Namun, sejarah kita berkali-kali menunjukkan bahwa di balik wajah ideal demonstrasi, kerap muncul bayang-bayang lain: penjarahan, perusakan, dan kekerasan.

Fenomena ini memunculkan dilema besar. Bagaimana mungkin sebuah ekspresi politik yang lahir dari cita-cita keadilan berubah menjadi panggung anarki? Mengapa suara nurani tiba-tiba disertai tangan-tangan yang merampas hak orang lain? Untuk menjawabnya, kita perlu menatap dari berbagai jendela: agama, sosiologi, psikologi, dan antropologi.

Agama dan Pagar Moral

Agama-agama besar memberi garis tegas: demonstrasi untuk menyuarakan kebenaran adalah bagian dari tanggung jawab moral, tetapi penjarahan adalah pelanggaran hak asasi manusia. Islam menegaskan larangan sariqah—mencuri—karena harta adalah amanah. Kristen menempatkan “jangan mencuri” sebagai hukum dasar yang mengikat hati nurani. Hindu mengajarkan asteya, pantang mengambil yang bukan milik. Buddhisme menekankan sila untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan. Konghucu mengajarkan yi, kelayakan moral, agar relasi sosial tetap tertib.

Pesannya jelas: menyuarakan aspirasi boleh, merampas hak orang lain tidak pernah bisa dibenarkan. Namun agama tidak berhenti di situ. Ia juga menuntut kepedulian: zakat, sedekah, dana punia, diakonia, gotong-royong. Artinya, mencegah penjarahan bukan semata menghukum pelaku, melainkan juga memastikan tak ada orang yang merasa terbuang dari lingkar keadilan sosial.

Deindividuasi dan Rasionalisasi

Psikologi membantu kita memahami paradoks manusia: individu bermoral bisa berubah ketika larut dalam kerumunan. Fenomena deindividuasi membuat seseorang merasa anonim, bebas dari tanggung jawab. Rasionalisasi pun muncul: “semua ikut, kenapa saya tidak?” atau “ini untuk melawan ketidakadilan.”

Stres, rasa frustrasi, dan ketakutan memperkuat impuls destruktif. Otak emosional mengambil alih dari otak rasional. Namun psikologi juga memberi kunci pemulihan. Norma kelompok sangat menentukan. Jika komunitas menampilkan teladan positif—antrean tertib, saling berbagi, menjaga tetangga—maka impuls menjarah dapat ditekan. Demonstrasi yang damai membutuhkan pemimpin moral di lapangan, yang menjaga semangat aspirasi agar tidak tergelincir menjadi anarki.

Ekonomi Moral yang Retak

Antropologi mengingatkan bahwa penjarahan sering lahir dari logika “ekonomi moral.” Ketika harga melambung atau bantuan tersendat, warga menilai sistem melanggar rasa keadilan. Dalam kerangka itu, mengambil dianggap “mengambil kembali.” Namun pemaknaan ini berbahaya, sebab ia merobohkan solidaritas sosial.

Di banyak tempat, penjarahan dalam demonstrasi justru melukai kelompok paling rentan: warung kecil, kios pinggir jalan, pedagang kaki lima. Mereka bukan representasi “elite penindas”, melainkan rakyat jelata yang juga berjuang. Inilah paradoks yang menyakitkan: demonstrasi yang semestinya membela rakyat, justru menyakiti rakyat sendiri.

Antropologi juga melihat penjarahan sebagai ritus liminal—momen batas—saat aturan lama tergantung di udara karena krisis. Karena itu, pencegahan harus peka budaya. Tokoh adat, pemuka agama, dan jaringan lokal lebih didengar daripada pengeras suara aparat.

Menjaga Garis Tipis

Apa yang harus dilakukan? Pertama, bedakan secara tegas antara demonstrasi damai dengan penjarahan. Aspirasi politik tidak boleh dikriminalisasi, tetapi anarki harus dihentikan. Kedua, percepat distribusi keadilan sosial. Selama jurang ketimpangan dibiarkan, penjarahan akan terus mengintai. Ketiga, libatkan masyarakat sipil—organisasi keagamaan, komunitas lokal, dan tokoh adat—untuk menjaga agar demonstrasi tetap menjadi ruang aspirasi, bukan arena perampasan. Keempat, komunikasi publik harus jujur dan menenangkan. Kejujuran meredam rumor, ketulusan mengembalikan rasa percaya.

Demokrasi di Ujung Jalan

Demonstrasi dan penjarahan adalah dua wajah yang kontras. Yang satu menyalakan harapan, yang lain menyalakan ketakutan. Yang satu menyuarakan keadilan, yang lain merobek kemanusiaan. Demokrasi hanya bisa bertahan bila kita menjaga garis tipis di antaranya: aspirasi sah, tetapi anarki tak bisa dibenarkan.

Pada akhirnya, yang diuji bukan sekadar kekuatan negara, tetapi juga kedewasaan bangsa. Apakah kita ingin demokrasi yang sehat, di mana rakyat bicara dengan martabat, atau demokrasi yang cacat, di mana suara rakyat hilang ditelan asap penjarahan?

Peradaban sejati tidak diukur dari seberapa keras rakyat berteriak di jalan, melainkan dari seberapa manusiawi kita tetap bersikap dalam jam-jam genting. Karena ketika krisis datang, kita selalu punya dua pilihan: ikut merampas, atau memilih untuk menjaga. (*)

 

Oleh : Prof Triyo Supriyatno (Wakil Rektor III UIN Maulana Malik Ibrahim Malang).

PILIHAN EDITOR