LUKA KOLEKTIF DALAM DEMOKRASI: Belajar dari Tragedi Demonstrasi

BANDUNGASIA.com | Oleh: Achmad Kholiq (Guru Besar Hukum Ilsam UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon)

Pendahuluan

Demonstrasi merupakan salah satu wujud kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi. Namun, ketika ruang demokrasi berubah menjadi letupan amarah yang menimbulkan korban jiwa, kerusakan fasilitas publik, dan trauma sosial, kita patut bertanya: mengapa aspirasi harus ditebus dengan darah?

Akar masalahnya tidak sederhana. Ketidakpuasan politik, ketimpangan ekonomi, dan lemahnya mekanisme penyaluran aspirasi menjadi faktor dominan.

Sejarah menunjukkan bahwa ketika hak politik diabaikan dan kesenjangan sosial-ekonomi melebar, jalanan menjadi panggung terakhir untuk bersuara—yang kerap berujung benturan tragis.

Dalam perspektif ekonomi, ketidakadilan distribusi kekayaan memicu frustrasi kolektif, diperparah oleh minimnya dialog antara rakyat dan penguasa. Akibatnya, terbentuk lingkaran setan: ketidakpuasan , protes, kekerasan, luka sosial, ketidakpercayaan dan protes berikutnya. Dampak langsungnya tidak hanya kerugian material, tetapi juga trauma psikologis dan polarisasi sosial yang sulit pulih.

Memahami akar persoalan ini menjadi langkah awal membangun solusi yang adil, agar demokrasi tidak lagi diwarnai darah, dan aspirasi dapat disalurkan tanpa mengorbankan nyawa.

Demokrasi Luka: Politik, Ekonomi, dan Trauma Sosial

Demonstrasi adalah salah satu ciri demokrasi, lahir dari hak rakyat untuk menyampaikan aspirasi, mengkritik kebijakan, dan memengaruhi pengambilan keputusan publik.

Secara ideal, demonstrasi berfungsi sebagai instrumen sah dan bermakna untuk menegakkan demokrasi, selama berlangsung dalam koridor hukum dan etika. Namun, realitas menunjukkan bahwa protes damai kerap berubah menjadi konflik dan anarki. Penyebab utamanya adalah kegagalan manajemen konflik dan saluran komunikasi yang lemah, diperparah oleh pendekatan represif aparat keamanan.

Dampak dari demonstrasi yang berujung kekerasan tidak hanya politik, tetapi juga ekonomi. Kerusakan fasilitas publik, gangguan aktivitas usaha, dan kerugian finansial menimbulkan beban sosial tambahan. Pemerintah harus menanggung biaya pemulihan, sedangkan masyarakat menghadapi produktivitas menurun, daya beli tergerus, dan ketidakpastian ekonomi. Untuk itu, stabilitas demokrasi tidak bisa dilepaskan dari keadilan ekonomi.

Kebijakan yang inklusif, distribusi kesempatan kerja yang adil, serta jaring pengaman sosial dapat mengurangi potensi konflik sosial dan menjaga agar aspirasi rakyat tersalurkan secara konstruktif.

Dari sisi sosial, bentrokan demonstrasi menimbulkan trauma kolektif. Kehilangan anggota keluarga, kekerasan langsung, atau sekadar menyaksikan kerusuhan menimbulkan kecemasan dan dendam yang memperburuk polarisasi masyarakat. Nilai etika dalam menyampaikan aspirasi juga tergerus; protes yang semestinya bermartabat berubah menjadi vandalisme, provokasi, atau kekerasan horizontal. Media sosial kadang memperparah situasi dengan hoaks dan ujaran kebencian, sehingga ruang demokrasi sebagai dialog publik tergantikan oleh logika kekuatan massa.

Urgensi membangun budaya protes damai dan etika demokrasi menjadi jelas. Aspirasi rakyat adalah mekanisme kontrol sosial, bukan alat kekerasan. Pemerintah, aparat, dan masyarakat sipil harus menegakkan dialog, menahan diri dari kekerasan, dan menanamkan pendidikan politik sejak dini agar generasi mendatang memahami demokrasi sebagai kebebasan yang beretika dan bertanggung jawab.

Dengan menumbuhkan demokrasi yang sehat, kita dapat memutus siklus kekerasan dan luka sosial, menjaga persatuan bangsa, serta memastikan aspirasi rakyat terdengar tanpa harus dibayar dengan darah. Etika publik menjadi benteng moral yang melindungi demokrasi dari anarki, sambil menegakkan keadilan politik dan ekonomi sebagai fondasinya.

Selain itu, fenomena demonstrasi berdarah mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak hanya tentang hak untuk bersuara, tetapi juga tentang tanggung jawab kolektif. Setiap aktor—mulai dari elit politik, aparat keamanan, media, hingga masyarakat sipil—memiliki peran dalam menjaga agar konflik tidak meluas. Elit politik harus mengutamakan transparansi dan integritas, aparat keamanan harus menegakkan hukum secara proporsional, dan masyarakat harus menyalurkan aspirasi melalui jalur yang damai. Ketika semua pihak memahami peran dan batasannya, demokrasi tidak hanya menjadi sistem prosedural, tetapi juga budaya sosial yang menghargai kehidupan, keadilan, dan martabat manusia.

Elit Politik dan Erosi Kepercayaan Publik

Setiap demonstrasi yang berujung pada kekerasan sejatinya adalah cermin buram kepemimpinan politik kita. Ketika rakyat turun ke jalan, itu bukan sekadar aksi spontan, melainkan tanda bahwa ada yang salah dengan cara aspirasi dikelola. Sayangnya, banyak elit politik baru mau “mendengar” ketika suara rakyat berubah menjadi teriakan marah, bukan ketika masih berupa bisikan yang bisa direspons dengan bijak.

Di sinilah masalahnya: politik kita kerap terjebak dalam arogansi kekuasaan. Banyak pejabat lebih sibuk menjaga citra dan mengamankan kursi daripada membuka telinga dan hati. Janji yang dulu diucapkan dengan lantang berubah menjadi kata-kata kosong, sementara kebijakan kerap lebih berpihak pada kepentingan kelompok kecil daripada rakyat luas. Akibatnya, kepercayaan publik terkikis, dan jalanan menjadi panggung koreksi keras.

Elit politik harus ingat, kata-kata bukan sekadar retorika; ia adalah janji yang membentuk kepercayaan. Jangan sampai lidah manis saat kampanye berubah menjadi senjata yang melukai hati rakyat. Etika berpolitik menuntut kejujuran, kesantunan, dan empati. Kekuasaan bukan warisan, apalagi alat untuk menindas; ia adalah amanah yang harus dijaga dengan rendah hati.

Sudah saatnya mereka meninggalkan gaya politik arogan dan membangun tradisi dialog yang tulus. Jangan tunggu rakyat berteriak di jalan; dengarkan sejak mereka masih bicara pelan. Buat kebijakan yang nyata, bukan sekadar pidato yang gemerlap. Karena jika kesadaran ini terus diabaikan, sejarah akan mengulang: protes, bentrok, darah, dan luka sosial—semua akibat telinga yang tertutup oleh ego.

Para elit politik perlu belajar satu hal mendasar yang sering terlupakan: rendah hati dalam berpolitik. Kerendahan hati bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan moral yang membuat seorang pemimpin lebih peka, mau mendengar, dan mampu mengakui kesalahan. Sayangnya, banyak yang terjebak pada arogansi kekuasaan, merasa selalu benar, dan alergi terhadap kritik. Padahal, sikap seperti itu justru menjauhkan mereka dari rakyat yang seharusnya mereka layani.

Kerendahan hati membuat pemimpin mengerti bahwa kursi kekuasaan hanyalah amanah, bukan mahkota abadi. Pemimpin yang rendah hati tidak akan menutup telinga terhadap keluhan rakyat, tidak akan membungkam suara yang berbeda, dan tidak akan memperlakukan politik sebagai panggung pertunjukan ego. Sebaliknya, ia akan melihat politik sebagai ruang pengabdian, di mana dialog lebih mulia daripada adu kekuatan.

Dalam iklim demokrasi, rendah hati adalah syarat lahirnya kepercayaan publik. Tanpa itu, kekuasaan berubah menjadi tembok yang memisahkan pemimpin dari rakyatnya. Ketika tembok itu semakin tebal, yang muncul hanyalah jarak, prasangka, dan akhirnya ledakan kemarahan. Jika elit politik benar-benar ingin menghindari tragedi berdarah dan luka sosial, mereka harus kembali kepada etika kepemimpinan yang berakar pada empati dan kesadaran moral.

Hikmah dan Harapan

Setiap peristiwa demonstrasi berdarah, betapapun pahitnya, selalu menyimpan pelajaran yang dapat kita ambil. Hikmah pertama yang harus kita pahami adalah pentingnya komunikasi politik yang sehat. Negara tidak boleh hanya menjadi penguasa yang berbicara, tetapi juga pendengar yang setia. Dialog harus menjadi budaya, bukan sekadar formalitas menjelang pemilu atau ketika krisis membesar. Komunikasi politik yang baik bukan hanya menyampaikan kebijakan kepada rakyat, tetapi juga menyerap aspirasi dan menjawabnya dengan langkah nyata.

Kedua, kita perlu memperkuat pendidikan politik dan etika publik. Demokrasi tidak akan bermakna jika masyarakat hanya memahami kebebasan, tetapi melupakan tanggung jawab. Pendidikan politik yang mendalam—baik melalui jalur formal maupun nonformal—harus mengajarkan bahwa demonstrasi adalah hak, tetapi hak yang wajib dijalankan dengan damai, tanpa melukai sesama. Di sisi lain, elit politik juga perlu meneguhkan integritas dan tanggung jawab moral. Etika publik bukan sekadar jargon, tetapi harus menjadi pedoman dalam setiap langkah kebijakan.

Ketiga, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan media harus diperkuat agar tercipta kanal aspirasi yang konstruktif tanpa kekerasan. Forum konsultasi publik, mekanisme pengaduan yang transparan, serta keterbukaan informasi adalah kunci agar aspirasi rakyat tidak harus meledak di jalanan. Teknologi digital bisa menjadi sarana efektif untuk menyalurkan aspirasi secara cepat dan terukur.

Dan yang tak kalah penting, elit politik harus melakukan refleksi mendalam. Sudah saatnya mereka membuka telinga, bukan hanya untuk mendengar suara rakyat, tetapi juga menindaklanjutinya dengan langkah konkret. Aspirasi publik bukan bahan retorika, melainkan mandat yang harus diwujudkan. Jika kepekaan ini tumbuh, maka kepercayaan rakyat akan kembali pulih, dan demokrasi dapat berjalan dalam harmoni tanpa mengorbankan darah dan nyawa.

Harapan ke depan adalah terwujudnya demokrasi yang dewasa: demokrasi yang berakar pada dialog, etika, dan keadilan. Kita semua—pemerintah, masyarakat, elit politik, dan media—memiliki peran untuk menjadikannya nyata. Dengan kesadaran kolektif ini, luka sosial bisa sembuh, dan bangsa ini dapat melangkah maju dengan lebih bijak.

Penutup

Demokrasi adalah anugerah yang seharusnya menjadi ruang damai bagi perbedaan, bukan panggung untuk pertumpahan darah. Setiap tetes darah yang tumpah dalam demonstrasi adalah alarm keras bahwa ada yang salah dalam tata kelola aspirasi dan manajemen konflik kita. Tidak seharusnya demokrasi ditebus dengan korban jiwa, kerusakan, dan trauma sosial yang menggores hati bangsa.

Oleh karena itu, saatnya para elit politik membuka hati nurani dan kesadarannya. Kekuasaan bukanlah sekadar alat untuk mempertahankan posisi, tetapi amanah besar untuk melayani rakyat dengan kepekaan dan ketulusan. Aspirasi masyarakat harus didengar, dipahami, dan diwujudkan melalui langkah konkret, bukan sekadar retorika di ruang publik. Kepercayaan rakyat hanya akan tumbuh jika komunikasi jujur dan kebijakan berkeadilan benar-benar diimplementasikan.

Demokrasi sejati bukan tentang siapa yang paling kuat, tetapi siapa yang paling bijak menjaga harmoni. Jika semua pihak—pemerintah, elit politik, dan rakyat—mampu menempatkan dialog, etika, dan keadilan sebagai fondasi bersama, maka tidak ada lagi demonstrasi yang berakhir dengan luka sosial. Kita bisa membangun masa depan yang lebih baik, di mana suara rakyat tidak harus dibayar dengan darah, melainkan dihargai dengan tindakan nyata.(*)

PILIHAN EDITOR