BANDUNGASIA.com : Tradisi mencium tangan kiai telah menjadi salah satu simbol paling khas dalam dunia pesantren. Gerakan sederhana itu—menunduk, menggenggam tangan, dan menempelkannya ke kening—tidak sekadar gestur sopan santun, melainkan ekspresi penghormatan dan ikatan spiritual antara santri dan kiai.
Namun, di tengah arus modernitas dan kesadaran kritis generasi muda pesantren, praktik ini kini mulai dipertanyakan: apakah cium tangan masih menjadi bentuk etika luhur, atau telah tergelincir menjadi simbol hierarki kekuasaan kultural?
Simbol Etika dan Spiritualitas
Dalam konteks tradisional, cium tangan merupakan bagian dari adab—suatu nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Nabi Muhammad SAW menekankan penghormatan kepada guru, ulama, dan orang tua.
Santri yang mencium tangan kiainya berarti meneguhkan diri dalam tradisi ta’dzim (penghormatan), bukan sekadar formalitas. Ia menyatakan bahwa ilmu tidak hanya ditransfer secara rasional, tetapi juga melalui keberkahan (barakah) yang diyakini mengalir melalui sikap hormat kepada guru.
Bagi santri, tangan kiai bukan hanya tangan manusia, tetapi tangan yang telah menulis ilmu, berdoa untuk umat, dan menuntun banyak orang menuju kebaikan. Dalam perspektif sufistik, gerakan mencium tangan adalah perjumpaan simbolik antara murid dan mursyid—antara yang mencari dan yang membimbing.
Pergeseran Makna dalam Konteks Sosial
Namun, persoalannya muncul ketika praktik itu bergeser makna dari adab spiritual menjadi ritual sosial. Di sebagian tempat, cium tangan telah menjadi kewajiban simbolik yang tak boleh dilanggar, bahkan menjadi ukuran kesetiaan santri kepada kiai.
Santri yang enggan mencium tangan bisa dicap kurang ajar atau memberontak. Di sinilah masalahnya: adab yang semula bersumber dari kesadaran batin berubah menjadi instrumen pengawasan sosial.
Kita perlu melihat fenomena ini dengan kacamata kritis. Filsafat pendidikan modern, seperti dikemukakan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, menolak model pendidikan yang menindas.
Ketika penghormatan berubah menjadi kewajiban yang mengekang kebebasan berpikir, maka relasi antara guru dan murid kehilangan nilai humanistiknya. Dalam konteks pesantren, cium tangan seharusnya menjadi ekspresi kasih dan penghargaan, bukan alat untuk mempertahankan jarak hierarkis.
Kiai dan Kuasa Simbolik
Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis, memperkenalkan istilah symbolic power—kuasa yang tidak bersifat fisik, tetapi bekerja melalui simbol, bahasa, dan kebiasaan sosial. Cium tangan bisa dibaca sebagai bentuk symbolic capital yang memperkuat posisi kiai di hadapan santri dan masyarakat. Tradisi ini meneguhkan bahwa kiai adalah sosok yang “lebih tinggi”, bukan hanya dalam pengetahuan agama, tetapi juga dalam otoritas sosial dan moral.
Dalam batas tertentu, kuasa simbolik ini penting sebagai pilar kepemimpinan moral. Namun, ketika tidak diimbangi dengan kesadaran kritis, ia bisa menjelma menjadi kultus personal.
Santri tidak lagi meneladani kiai karena ilmunya, tetapi memujanya karena statusnya. Akibatnya, pendidikan pesantren kehilangan ruh kritisnya: santri tidak lagi diajak berpikir, tetapi hanya diminta mengikuti.
Perspektif Islam Keindonesiaan
Islam di Indonesia sejatinya memiliki akar egalitarian. Tradisi pesantren awal dibangun bukan untuk menundukkan, tetapi untuk memberdayakan umat. KH Hasyim Asy’ari dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim menekankan bahwa adab guru dan murid bersifat timbal balik: guru dihormati, tetapi tidak boleh sombong; murid menghormati, tetapi tidak boleh kehilangan akal sehat.
Cium tangan kiai, dalam kerangka Islam Keindonesiaan, mestinya dipahami sebagai ruang pertemuan dua nilai: ta’dzim dan musyawarah.
Santri menghormati kiai bukan karena takut, melainkan karena cinta ilmu. Sementara kiai menerima penghormatan bukan karena haus kuasa, tetapi karena tanggung jawab moral untuk mendidik.
Tantangan di Era Digital
Generasi santri kini hidup di era digital—di mana otoritas keilmuan tidak lagi tunggal. Santri bisa belajar dari kitab digital, menonton ceramah dari berbagai ulama di YouTube, dan berdiskusi di forum daring lintas mazhab.
Dalam ruang ini, hubungan santri dan kiai menghadapi tantangan baru: bagaimana menjaga adab tanpa menutup kebebasan berpikir?
Mencium tangan tidak lagi otomatis menjadi ukuran adab, sebagaimana tidak mencium tangan tidak serta-merta berarti kurang ajar. Adab kini harus dimaknai ulang: bukan sekadar gestur fisik, tetapi sikap mental untuk menghargai ilmu, mendengarkan dengan hati, dan berdialog dengan rendah hati.
Transformasi Adab Menuju Kesadaran
Kita tidak perlu menghapus tradisi cium tangan, karena ia bagian dari warisan moral bangsa dan keindahan budaya pesantren. Namun, kita perlu mengembalikannya ke makna sejatinya: sebagai simbol kasih, bukan dominasi.
Pendidikan pesantren mesti berani melakukan transformasi nilai—dari ta’dzim yang formalistik menjadi ta’dzim yang reflektif.
Cium tangan tidak boleh lagi menjadi ritual tanpa makna, melainkan ajang pembentukan kesadaran.
Santri mencium tangan kiai bukan karena takut, melainkan karena tahu: dari tangan itulah ilmu dan doa pernah mengalir. Kiai pun tidak menunggu tangan dicium, karena ia sadar, yang paling penting bukan dihormati, tetapi menginspirasi.
Cium Tangan dan Perubahan Zaman
Di tengah perubahan zaman dan arus rasionalitas modern, pesantren menghadapi tugas ganda: menjaga tradisi sekaligus menafsir ulang maknanya.
Cium tangan kiai bukanlah masalah kecil, melainkan refleksi tentang bagaimana kita memahami relasi kuasa, etika, dan pendidikan.
Selama gestur itu lahir dari kesadaran spiritual, bukan paksaan sosial, maka ia tetap menjadi mutiara adab pesantren.
Tetapi jika ia berubah menjadi simbol penundukan, maka pesantren perlu berani bertanya: adab seperti apa yang sedang kita wariskan? Karena sejatinya, pendidikan bukan tentang siapa yang lebih tinggi, tetapi bagaimana manusia saling memuliakan.**